Saturday, June 11, 2011

Rancunya Pendidikan Pancasila

Pendidikan Pancasila, Freemasonry, dan Pergolakan Umat Islam: Rancunya Pelajaran PPKn


“Sejarawan muslim dituntut nengungkapkan yang benar dan mengorbankan segala usaha untuk sampai kepada tujuan tersebut. Tidak boleh berbasa-basi terhadap seseorang, mengasihi, atau menzhaliminya.. Dari segi ilmiah sejarah itu sudah menjadi palsu, walaupun kalimat-kalimat yang ditulis di dalamnya benar, sebab dia memberi umat ukuran yang jauh lebih kecil dari ukuran yang sebenarnya, meletakkan si cebol yang lemah di tempat raksasa.” [1]
Ungkapan itu adalah guratan tangan Muhammad Quthb dalam bukunya “Kaifa Naktubu Attarikhal Islam” yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Mengapa Kita Perlu Menulis Ulang Sejarah Islam”. Muhammad Quthb, seorang pendidik dan ulama kenamaan Mesir, menjelaskan banyak sekali para penulisan Islam yang dipalsukan oleh para orientalis demi menjalankan misi Gereja.
Menurut Quthb, pemanipulasian sejarah Islam memiliki sasaran yang jelas, yakni memupus habis rasa bangga dengan Islam dan Sejarah Islam di dalam jiwa pembaca muslim, mengubah rasa bangga, dengan rasa kaesal dan enci, sehingga pembaca tidak minat lagi membacanya pada masa-msa berikutnya. [2]
Rupanya apa yang dikhwatirkan Muhammad Quthb, momentumnya menjadi pas saat ini. Ditengah Upaya pemerintah memberlakukan kembali nilai-nilai pancasila dalam pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) pasca kasus ‘terosisme’ yang menguat di kalangan umat Islam dan memupusnya rasa nasionalisme pemuda.
Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, kemarin, mengatakan pemerintah termasuk lembaga negara yang menilai bahwa saat ini nilai-nilai Pancasila terpinggirkan di tengah kehidupan masyarakat Indonesia. Mahfud menyatakan bahwa perlunya rencana aksi nasional oleh suatu lembaga untuk melakukan sosialisasi dan penerapan Pancasila melalui pendidikan.
Alhasil, rencana aksi pendidikan untuk memperkokoh nilai Pancasila itu merupakan kesepakatan yang diambil dalam pertemuan lembaga negara, termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersama Wapres Boediono, yang digelar hari rabu kemarin. [3] Sebelumnya di tiap level pendidikan, nama PPKn memang sudah masuk liang kubur dan kemudian diganti dengan “istilah” Civic Education. [4]
Seperti dikutip harian Kompas, tertanggal 6 Mei 2011, bahwa dengan dihapuskannya Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) menjadi hanya Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) di semua jenjang pendidikan membawa konsekuensi ditinggalkannya nilai-nilai Pancasila, seperti musyawarah, gotong royong, kerukunan, dan toleransi beragama. Padahal, nilai-nilai seperti itu kini sangat dibutuhkan untuk menjaga keutuhan suatu bangsa yang pluralistis. [5]
Jadi momentumnya saat ini, PPKn akan diberlakukan kembali demi menggiring masyarakat yang berpijak pada nilai-nilai moral, karakter, yang bersifat plural dan demokratis. Adalah waktu yang tepat, mengingat konsep kebebesan beragama dan pluralisme semakin mendapat tempat pasca meletusnya tindak “kekerasan beragama” yang banyak menyinggung umat Islam.
Racun Halus Itu Bernama “Nilai-nilai”
Oleh karenanya, Muhammad Al Ghazali dalam bukunya “Islam Arab dan Yahudi Zionisme”, mewanti-wanti serangan ideologi terhadap kaum muslim terhadap apa yang beliau sebut dengan istilah “nilai-nilai”. Sejatinya kata “nilai-nilai” adalah bentuk pengaburan kebenaran dan sisipan kebathilan lewat cara yang halus, kalau tidak mau disebut halus sekali.
Jangankan istilah moral yang memang berpijak pada konsep netral agama, sedang kata-kata “nilai-nilai rohani” saja, ternyata memang “diniatkan” untuk memasukkan konsep pluralisme agama. Muhammad Al Ghazali menulis,
“Pada lahirnya kata-kata nilai-nilai kerohanian ini ditujukan kepada sekumpulan agama langit dan bumi yang dianut oleh jumlah besar manusia dan meretas langkahnya ke arah tujuan dalam hidup ini menurut pola gaib dan menonjol. Dan dengan upacara-upacara yang bermacam-macam dan diakui serta norma-norma tingkah laku yang dipatuhi oleh para pengikutnya.
“Jadi, nilai-nilai kerohanian mencakup agama Budha, Hindu, Yahudi, Nasrani, dan Islam serta segala yang telah berjalan secara tetap di arena tradisi yang turun menurun, yaitu arena agama dan penganut-penganut serta yang berhubungan dengannya.
“Mengelompokkan semua aliran ini dibawah judul ‘nilai-nilai kerohanian’ merupakan penyingkatan yang baik, seperti halnya minuman-minuman rohani yang berarti segala zat yang memabukkan, walau namanya di berbagai negara berbeda-beda
“Tetapi kata-kata nilai-nilai kerohanian dengan pengertian yang meliputi ini perlu mendapat penyelidikan yang hati-hati agar kita dapat menentukkan sikap dan pendirian kita! Karena menderetkan yang hak dan yang bathil dibawah satu daftar, suatu hal yang dari semula tak dapat kita terima.” [6]
Reduksi Iman Dalam Pelajaran PPKn
PPKn pun adalah mata pelajaran yang sangat kontradiksi satu sama lain di dalam penerapannya. Sebagai contoh, di standar kompetensi untuk SMP misalnya. Pada bab pertama, murid dijelaskan materi ketakwaan dengan cara mengidentifikasi perilaku yang didasari iman dan taqwa dalam kehidupan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Sedangkan pada materi kedua, para murid justru dianjurkan untuk menyerahkan “loyalitasnya” kepada Negara dengan judul Cinta Tanah Air, bukan lagi kepada Islam.
Dalam materi ketakwaan pun masih rancu. Karena keimanan dalam pelajaran PPKn tidak dijelaskan dalam perspektif seperti apa? Apakah wajar jika saat murid belajar PPKn yang meletakkan keimanan pada bab pertama itu, para siswi perempuan dan guru perempuan nya pun justru tidak berjilbab.
Apakah wajar jika meletakkan ketaqwaan di bab pertama, namun para murid masih dianjurkan untuk menghormati bendera sebagai bukti “keimanan” mereka kepada tanah air? Bayangkan jika sebelumnya anak kita ditekankan untuk memberikan totalitasnya kepada Allah semata, namun dengan secepat kilat pula pada satu minggu kedepannya, standar beriman mereka terpaksa berubah.
Bahkan tidak perlu menunggu waktu lama, bisa jadi pada satu jam berikutnya hal itu dapat terlaksana, seperti pada pelajaran Sosiologi, ketika anak kita disuruh menjawab apa penyebab utama terjadinya pelacuran: a. faktor keluarga. b. faktor budaya. c. faktor ekonomi. d. semuanya benar.
Pertanyaannya: dimanakah faktor iman?
“..Apakah kamu beriman kepada sebagian Al-Kitab dan ingkar terhadap sebagian yg lain? Tiadalah balasan bagi orang yg berbuat demikian daripadamu melainkan kenistaan dlm kehidupan dunia dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yg sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yg kamu perbuat.” (QS. Al Baqarah: 85)
“... dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-An’aam : 153)






Freemasonry, dan Pergolakan Umat Islam: Syubhat Sila Pertama


“Karena posisi Pancasila yang krusial seperti itu, saya melihat urgensi mendesak rehabilitasi dan rejuvenasi Pancasila, khususnya ketika bangsa sedang dalam proses memilih kepemimpinan nasional sekarang ini. Jika tidak, ada kemungkinan bangkitnya ideologi-ideologi lain, termasuk yang berbasiskan keagamaan. Gejala meningkatnya pencarian dan upaya-upaya untuk penerimaan religious-based ideologies ini merupakan salah satu tendensi yang terlihat jelas di Indonesia pada masa pasca Soeharto.”
Paragraf di atas saya ambil dari tulisan Azyumardi Azra, yang berjudul “Pancasila di Tengah Peradaban Dunia: Perspektif Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural” yang dipresentasikan saat Diskusi Nusantara Institute “Menyongsong 100 Tahun Kebangkitan Nasional Jakarta,” 16 April 2008.
Azyumardi mengakui bahwa ada masa kelam dimana Pancasila pernah dijadikan sebagai alat politik Orde Baru dalam melanggengkan kekuasaannya. Akan tetapi, sekalipun wajah Pancasila pernah cacat, goresan hitam pada wajahnya bisa dibersihkan dan dipoles dengan semangat multikulturalisme Pancasila sebagai ideologi Negara.
Alasan Azra berfikiran seperti itu, rupanya didasari pada realitas bahwa muncul militansi keberagamaan yang meningkat di kalangan uamt Islam. Artinya, menurut Azra, hal ini jutsru menjadi masalah baru pasca Soeharto lengser dan era reformasi dimulai dimana BJ. Habibie telah menghapus asas tunggal. Azra menulis,
“Penghapusan ini (Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi, pen.) memberikan peluang bagi adopsi asas-asas ideologi lain, khususnya yang berbasiskan agama (religious-based ideology). Pancasila jadinya cenderung tidak lagi menjadi common platform dalam kehidupan politik.
"Ketiga, desentralisasi dan otonomisasi daerah yang sedikit banyak mendorong penguatan sentimen kedaerahan, yang jika tidak diantisasipasi bukan tidak bisa menumbuhkan sentimen local-nationalism yang dapat tumpang tindih dengan ethno-nationalism. Dalam proses ini, Pancasila baik sengaja maupun by implication kian kehilangan posisi sentralnya.”
Kekeliruan yang selama ini terjadi di beberapa kalangan untuk menerima Pancasila adalah pada harapan besar masuknya Syariat Islam pada Sila Pertama yakni Ketuhanan yang Maha Esa. Padahal dengan segala kondisi yang terjadi, konsep Sila Pertama itu tidak sepenuhnya identik dengan Islam, karena lebih berhaluan monotheisme ketimbang Tauhid.
Tauhid jelas sekali berbeda dengan monotheisme. Tauhid, dalam Islam sudah satu paket dengan keharusan menjalankan seluruh perintah Islam yang konsekuensi logisnya mengakui bahwa Allahuta’ala sebagai satu-satunya Tuhan.
Sedangkan monotheisme hanya menjalankan separuh konsep Tauhid, yakni mengakui Tuhan Yang Satu. Itupun bisa kita konfrontir dengan pertanyaan: Tuhan yang mana?
Karena Yahudi sendiri mengakui Tuhan itu juga satu. Bahkan Hindu yang mengakui Dewa-dewa juga mengklaim Tuhannya satu. Akhirnya persoalan menjadi rumit ketika agama Kristen dipandang dalam perspektif Pancasila. Kristen sebagai agama terbesar kedua, mengakui Tuhan itu tiga bukan satu.
Kalau mau konsekuen seharusnya agama Kristen dilarang di Indonesia. Dalam Islam, nama Tuhan jelas disebut dengan Allah, bukan Yahweh, Yesus, atau Sang Hyang Widi. Ini sudah dijelaskan dalam surat Al Ikhlas, "Katakanlah: Dia-lah Allah, Yang Maha Esa," (Q.S. Al-Ikhlas : 1).

Mengapa persoalan ini masih terjadi? Disinilah kekacauan Pancasila. Kisahnya yang mengkolaborasikan agama dengan nilai dunia menimbulkan confused. Pancasila bukanlah idelogi yang netral dan tergantung siapa yang membawanya. Karena kalau dia bebas nilai, dia tidak disebut ideologi. Tapi hal ini jelas, bahwa Pancasila adalah filsafah atau tata nilai yang memiliki visi, yakni visi kebangsaan.
Kasus Pancasila menjadi sama dengan di Perancis. Ayang Atriza, dalam tulisannya "Mencari Model Kerukunan Umat Beragama", menyatakan bahwa Laicité atau sekularisme ala Perancis pun menjadi salah satu konsep ideal untuk menciptakan kerukunan beragama. Undang-Undang Laicité 1905 mengatur pemisahan negara dan agama di Perancis. Laicité lahir dari konflik berkepanjangan antara kalangan gerejawi yang ingin mempertahankan kuasa dan pengaruhnya dan kalangan nasionalis yang menolak keberadaan agama dalam ranah politik.
Laicité secara filosofis berarti negara sama sekali tidak mengakui apa pun bentuk agama dan kepercayaan. Tetapi, negara menjaga kebebasan beragama dan berpikir, karenanya negara menjaga para pemeluknya, kitab suci, dan simbol. Negara melindungi setiap pemeluk agama bukan karena nilai metafisik agama tersebut, tapi karena negara harus melindungi kebebasan beragama masing-masing orang agar hak-hak mereka tidak dilukai.
Yang menarik mungkin Ucapan KH. Firdaus AN. Menurutnya imbuhan "ke" dan "an" dalam Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, justru berarti banyak. Ketumbuhan, banyak yang tumbuh, seperti penyakit campak atau cacar yang tumbuh di badan seseorang. Kepulauan, banyak pulau; Ketuhanan, berarti banyak Tuhan. Jadi kata Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Contradictio in Terminis (Pertentangan dalam tubuh kata-kata itu sendiri).
Beliau kemudian mendelegasikan bahwa mustahil banyak Tuhan kemudian disebut yang maha esa. Dalam bahasa Arab, itu disebut “Tanaqudh” (pertentangan awal dan akhir). Logika ini jelas tidak sehat, bertentangan dengan kaidah ilmu bahasa.
“Jelaslah, kata Ketuhanan itu syirik. Dan kalau yang dituju itu memang Tauhid, maka rumusannya yang tepat adalah Pengabdian kepada Tuhan Allah Yang Maha Esa. Padahal Presiden Soeharto sendiri menegaskan: Jangan masukkan nilai dari paham lain (Islam, Pen.) ke dalam Pancasila.” ungkap beliau.

Freemasonry, dan Pergolakan Umat Islam: Bukan Sekedar Salah Tafsir


Ada fenomena menarik di kalangan umat Islam mengenai respon mereka terhadap Pancasila. Umat Islam setidaknya terbelah dalam dua kelompok, pertama mereka yang dengan tegas menolak Pancasila, karena itu berlawanan dengan semangat tauhid dan akidah.
Sebagian Umat Islam pada kelompok ini, sudah secara baik menganggap bahwa Islam tidak bisa dipadukan sama sekali dengan Pancasila. Sebab Pancasila adalah hasil dari konsensus manusia dan tidak merepresentasikan penghambaan total kepada Allah semata. Selanjutnya, pada perkembangannya, Pancasila pun dipakai sebagai ideologi yang dipakai untuk mengukuhkan sistem demokrasi dimana suara rakyat adalah otoritas tertinggi dalam bernegara.
Sebaliknya, Kelompok kedua yang diwakili sebagian cendekiawan Islam, melihat Pancasila masih bisa dinego untuk disetel dengan gaya Islami. Alasan mereka biasanya menampilkan fakta bahwa Pancasila telah mengalami distorsi penafsiran. Pancasila yang pada awalnya menjadi itikad kalangan Islamis memasukkan sendi Syariat Islam, kemudian berubah 180 derajat hingga menyeret ideologi negara itu sebagai representasi diterimanya multikulturalisme dan pluralisme agama di Indonesia.
Namun ternyata perdebatan “salah tafsir” tidak hanya menjadi domain kalangan kelompok Islam, namun juga di kalangan pengusung Pluralisme agama itu sendiri, yang notabene sangat berkepentingan dengan tafsir multikultural Pancasila.
Pancasila Dan Sengketa Antara Sesama Pengusung Pluralisme Agama
Pluralisme agama memang adalah alat ampuh yang dipakai freemasonry dalam menghancurkan Islam. Keganasan pluralisme agama tidak saja bertugas merusak Islam dari akarnya, yaitu tauhid, namun juga menyempal dengan ideologi lain seakan-akan ideologi itu terlihat Islami.
Sebagai ideologi yang menampung semangat kebhinekaan, Pancasila merupakan momentum bagi propaganda pluralisme, multikuturalisme, dan inklusifisme yang memang nyaring disuarakan oleh antek-antek freemason.
Menariknya, Sila Ketuhanan Yang Maha Esa yang biasa menjadi titik kulminasi aspirasi umat Islam, juga dipakai oleh mereka untuk mengatur posisi duduk agama-agama di Indonesia secara jernih. Mengapa? Karena oleh mereka, sila pertama tidak eksplisit menyinggung Islam.
Sebaliknya Sila Ketuhanan bagi pengusung Freemason adalah bukti bahwa klaim ketuhanan bukan saja diikat oleh agama Islam an sich. Namun juga agama-agama lain seperti Kristen, Hindu, Budha, Konghucu, bahkan Yahudi. Agama-agama ini, menurut mereka, toh juga memiliki legitimasi bak Islam untuk mengatakan Sila Ketuhanan sebagai bagian dari spirit mereka.
Logika seperti ini lah yang pernah dipakai para pengusung Hari Jadi Zionis Israel tempo lalu. Maka itu salah satu seremoni yang dilakukan dalam prosesi HUT Negara laknatullah itu terselip agenda pembacaan Pancasila.
Tidak hanya itu, dengan memakai argumentasi Pancasila, Ruhut Sitompul pun menyatakan bahwa perayaan HUT Israel menjadi sah di Indonesia. "Saya mendukung perayaan itu, karena kita negara pancasila. Boleh dong komunitas Yahudi merayakan negara dimana ada hubungan darah,"
Ia membandingkan dengan kondisi masyarakat Indonesia yang setiap tahun merayakan kemerdekaan. Meskipun pada kenyataan menurutnya masyarakat dari berbagai etnis.
"Kita setiap tahun merayakan kemerdekaan padahal kita tidak pernah mengakui satu etnis,"

Akan tetapi, berlawanan akan hal itu, thesis terhadap konsep instrument pluralisme agama dalam Pancasila juga dilakukan oleh Luthfi Asy Syaukanie dalam perspektif berbeda sekalipun memiliki misi sama. Jika sebagian kelompok pragmatis, memakai Sila Ketuhanan untuk melegitimasi pluralisme agama, Luthfi menolak sila pertama justru dengan alasan memasung kebebasan beragama.
Dalam diskusi di Jaringan Islam Liberal, tanggal 25 Mei 2011 yang mengambil tema “Indonesia dan Doktrin Pancasila", doktor lulusan Australia itu, melihat bahwa sila pertama bisa menjadi sangat bias monoteisme.
Dengan ideologi yang bias monoteis tersebut, Luthfi menyangsikan apakah Budha dan Hindu misalnya, bisa diterima “secara ikhlas” di negeri ini. Belum lagi fenomena ateisme dan agnostisisme yang belakangan fenomenanya muncul kepermukaan (terkait niat asosiasi kelompok ateisme indonesia yang berniat menyusun buku bertajuk: Apakah Ateisme Dapat Hidup di Indonesia?).
Akhirnya, dengan konstitusi yang bias monoteis itu, Luthfi menyangsikan apakah ateisme itu juga punya prospek legal di Indonesia. Dengan tafsir yang berbeda, seperti pemahaman Buya Syafi’i Ma’arif misalnya, sila pertama memang bisa membuka ruang untuk ateisme.
Melihat dua perbedaan antara yang satu dan yang lain sekalipun mengangkat misi nyaris sama, kalau tidak mau dibilang mirip sama sekali, artinya apa? Bahwa ternyata jangankan kalangan Islamis, kalangan liberal sendiri pun melihat Sila Pertama juga sangat multi tafsir.
Pada momen inilah mereka banyak mengguggat sila pertama dan memainkan ruh Pancasila itu sendiri sebagai muara dari kebhinekaan bangsa Indonesia. Karena sejatinya, meminjam bahasa Yudi Latif yang juga menjadi pembicara saat Diksusi JIL tersebut, Pancasila adalah hasil dari perdamaian antara persengkataan kalangan Nasionalis Sekuler dengan Nasionalis Islamis.
Mana Yang Lebih Berdampak?: Salah Tafsir Pancasila Atau Salah Tafsir Tauhid
Maka itu perdebatan tentang definisi pancasila memang rasanya sudah menjadi sunatullah untuk multi tafsir. Hal ini minimal didasarkan kepada dua hal, pertama memang pancasila itu juga sangat multi tafsir di masing-masing silanya seperti Ketuhanan, Persatuan, Kebijaksanaan, Perwakilan, dan sebagainya. Kedua, tidak bisa kita pungkiri lahirnya perdebatan tafsir Pancasila hanyalah ekses dari sebuah konstitusi yang dibuat oleh tangan manusia yang sangat terbatas pengetahuannya dengan mengenyampingkan Allah sebagai otoritas tertinggi pembuat hukum.
"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata."(QS Al-Ahzab ayat 36)
”Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (QS Al-Ahzab ayat 72)
Karena sebagai ideologi buatan manusia, maka sejatinya perbincangan mengenai Pancasila tidak akan pernah usai selama tanggal 1 Juni masih ada dan dirayakan sebagai hari lahir Pancasila.
Oleh karena itu, kadang-kadang kita harus berfikir jernih bahwa sebenarnya ada hal yang lebih utama lagi ketimbang kita berkutat pada diskusi mengenai tafsir Pancasila, yakni mengkaji kesalahan masyarakat dalam menafsirkan kata tauhid, iman, thaghut, haram, halal, musyrik, kafir, dan lain sebagainya. Diskusi Pancasila hanya akan berekses pada logika hukum yang sama sekali tidak membawa manfaat banyak kepada Islam, mengingat Pancasila hanya hidup dalam semangat konstitusi dan perundang-undangan dunia, sedangkan kesalahan dalam menafsirkan tauhid dalam Islam, memiliki efek tidak hanya di dunia tapi akhirat.
“Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah ta’aala, tuhan apapun yang lain. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah ta’aala. BagiNyalah segala penentuan(hukum), dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan.” (QS Al-Qashash ayat 88)

Kesalahan definisi dalam Islam, baik dari segi terminologi maupun konsepnya, pernah disinggung oleh Abu Ala Al Maududi. Menurut Al Maududi, salah satu yang menyebabkan distorsi masyarakat dalam meresapi definisi istilah Islam, salah satunya didasari kepada faktor bahasa dimana banyak negeri muslim tidak menerapkan Bahasa Arab beserta kaedah-kaedahnya.
Saat ini umat Islam mengalami kesalahan tafsir terhadap agamanya dalam jurang yang cukup parah. Kerap kita dapati sebagian umat Islam yang memang mengaku bertauhid, mengatakan Tuhan itu satu, tapi di sisi lain ia masih mengakui tuhan-tuhan yang lain, yakni penyembahan mutlak terhadap sistem buatan manusia, seperti demokrasi. Padahal perkara hukum ini bukanlah hal yang sepele.
Syekh Muhammad Ibnu Abdul Wahab dalam menjelaskan perkara Nawaqidhul Iman, sampai menjatuhkan vonis kafir bagi mereka yang meyakini ada hukum manusia lebih tinggi daripada hukum Allah.
Kita juga harus sadar bahwa dalam kalimat lailahaillallah, mengandung dua konsep sekaligus yakni al Wala’ wal Bara’. Yakni ber-wala' kepada Allah dan bara’ terhadap Tuhan-tuhan yang lain. Inilah yang jarang dikaji oleh kalangan yang menerima Pancasila hanya karena Pancasila telah salah tafsir dan mengalami distorsi sejarah. Ketika kita berbicara kepada konsep Tauhid, kita tidak lagi bicara histroris, tapi meletakkan Pancasila dalam basis kajian yang lebih mendalam lagi secara ukhrawi, yakni Tauhid dalam Islam.
Ekses daripada kesalahan tafsir tentang makna tauhid dalam Islam, dampaknya akan lebih dahsyat ketimbang kesalahan dalam menafsirkan Pancasila. Dalam tauhid kita sudah bicara halal-haram, mukmin-musyrik, juga surga-neraka. Ketika tafsir ini masih belum usai, amat wajar ada sekumpulan masyarakat muslim yang saat ini mengaku beriman tapi korupsi, yang mengatakan Islam adalah harga mati, tapi masih menganggap Demokrasi lebih tinggi dari seruan Nabi. Tidak hanya itu, ada yang tahu kezhaliman itu thaghut, namun demi koalisi dan kursi, kata thaghut itu masih bisa ditarik kembali.
Dan sungguh kita patut khawatir inilah yang sesungguhnya diingginkan musuh-musuh Allah yang salah satunya diwakili oleh Kaum Freemason, Illuminati, Zionis, atau apapun itu namanya, dimana kita lebih sering berdiskusi tentang perkara dunia, ketimbang logika akhirat.
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? Hukum mana yang lebih baik daripada hukum Allah?” (Al Maidah: 50)

Kaitan Dengan Hindu-Budha


Mungkin ini terdengar janggal dan aneh. Namun bukan menjadi sesuatu hal yang ganjil jika kita flash back pada saat Sekolah Dasar dimana Pelajaran Pendidikan Moral Pancasila kerap sekali mempropagandakan simbol-simbol Hindu dan Budha seperti Bhineka Tunggal Ika.
Mohammad Yamin, perumus Pancasila sekaligus penulis novel Gadjah Mada, sendiri mengakui bahwa berdirinya bangsa Indonesia tidak bisa dilepaskan dari kerajaan yang sebelumnya ada, seperti Kerajaan Kutai, Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Kerajaan Kutai memberikan andil terhadap nilai-nilai Pancasila seperti nilai-nilai sosial politik dalam bentuk kerajaan dan nilai Ketuhanan dalam bentuk kenduri sedekah kepada Brahmana.
Majapahit juga melahirkan beberapa empu, seperti Empu Prapanca yang menulis buku negara Kertagama yang didalamnya terdapat istilah Pancasila. Sedangkan dalam catatan lainnya, jauh sebelum Republik Indonesia dan Majapahit berdiri, Pancasila sudah dianut dan menjadi ideologi Kerajaan Maghada pada Dinasti Maurya sejak dipimpin oleh raja Ashoka (sekitar tahun 273 S M–232 SM). Raja Ashoka sendiri merupakan penganut agama Buddha yang taat.
Menurut catatan sejarah, Pancasila merupakan ajaran yang diciptakan oleh Sang Buddha Siddharta Gautama. Sebagai ajaran, Pancasila harus diamalkan oleh setiap penganut agama Buddha bahkan sampai kini. Akan tetapi, kala itu redaksi Pancasila masih dimuat dalam bahasa Pali. Berikuti isinya:
1. Pānātipātā veramani sikkhāpadam samādiyāmi
2. Adinnādānā veramani sikkhāpadam samādiyāmi
3. Kāmesu micchācāra veramani sikkhāpadam samādiyāmi
4. Musāvāda veramani sikkhāpadam samādiyāmi
5. Surā meraya majja pamādatthānā veramani sikkhāpadam samādiyāmi
Sedangkan pada agama Budha sendiri, Pancasila adalah perwujudhan Dharma, yakni suatu jalan kehidupan yang berlandaskan kebenaran dalam filsafat agama-agama yang kental muatan pluralisme. Dharma Pancasila sendiri berisi ajaran-ajaran yang mirip dengan Pancasila yang kita kenal saat ini.
1. Menghindari pembunuhan (nilai kemanusiaan) guna mencapai samadi.
2. Tidak mengambil barang yang tidak diberikan (nilai keadilan) guna mencapai samadi.
3. Tidak melakukan perbuatan asusila (berzinah, menggauli suami/istri orang lain, nilai keluarga) guna mencapai samadi.
4. Melatih diri menghindari ucapan yang tidak benar / berbohong, berdusta, fitnah, omong-kosong (nilai kejujuran) guna mencapai samadi.
5. Melatih diri menghindari segala minuman dan makanan yang dapat menyebabkan lemahnya kewaspadaan (nilai pembebasan) guna mencapai samadi.
Dengan berkembangnya ajaran Buddha, termasuk ke Nusantara. Negara kedua setelah Kerajaan Maghada yang menjadikan Pancasila sebagai dasar negaranya yaitu Kerajaan Majapahit di pulau Jawa yang berkembang hampir kesepetiga Nusantara. Kerajaan Majapahit mengakui dan mengayomi dua agama resmi Negara yaitu Buddha dan Hindu, kedua agama ini memiliki tempat peribadatan masing-masing dilingkungan Negara.
Maka terbentuklah hubungan antar pemeluk agama dibawah naungan Pancasila. Isi Pancasila yang terdapat di Kerajaan Majapahit dapat ditemukan dalam Kitab Negarakertamagama karya Empu Prapanca.
Kejayaan Majapahit berakhir dengan kalahnya Perang dengan Kerajaan Islam Malaka dan disempurnakan kekalahannya oleh Kerajaan Islam Demak dibawah pimpinan Raden Fatah. Saat itulah Kerajaan Majapahit terkubur, bukan Istananya saja bahkan Ideologi dan lambang Garuda-nya pun ikut terkubur.
Diskursus tentang lambang Garuda pun tidak jauh dari mistisisme Hindu. Ide penggunaan Burung Garuda sebagai lambang negara ini diperkenalkan oleh Sultan Hamid II dari Pontianak yang meminjam lambang kerajaan Sintang, sebuah kerajaan Hindu yang didirikan seorang Tokoh Hindu dari Semenanjung Melaka Bernama Aji Melayu di Kalimantan Barat zaman dulu.
Dikisahkannya, dalam rangka mencari ide untuk membuat lambang Negara, mulanya Sultan Hamid mengunjungi Sintang, kemudian beliau bertolak ke Putus Sibau. Sepulang dari Putus Sibau, ia kembali Singgah di kerajaan Sintang, dan tertarik pada patung Burung Garuda yang menghiasi Gantungan Gong yang dibawa Patih Lohgender dari Majapahit.
Patung Burung Garuda sendiri, ketika itu sudah menjadi lambang kerajaan Sintang. Sebelumnya, di Putus Sibau, pihak swa praja disana mengusulkan kepada Sultan Hamid untuk menggunakan lambang burung Enggang. Namun ia tak langsung mengakomodir usul tersebut. Karena ia lebih tertarik pada lambang Burung Garuda yang menjadi lambang kerajaan Sintang. Sultan Hamid pun berinisiatif meminjam lambang kerajaan Sintang untuk menjadi lambang Negara Indonesia.

Sultan Hamid II tidak lain adalah seorang pengikut Freemason dan Theosofi. Ia mewarisi darah masonik dari garis Abdul Rachman, Sultan Pontianak yang terdaftar dalam Freemason di Surabaya pada 1944. Jenjang pendidikan Sultan Hamid II adalah sekolah dasar Belanda, bahkan termasuk salah seorang Indonesia yang disekolahkan di sekolah militer Belanda di Breda.
Pada masa kemerdekaan, Sultan Hamid II diangkat Soekarno menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio. Ketika Soekarno membentuk Panitia Lencana Negara pada 10 Januari 1950, dia ditunjuk sebagai kordinatornya. Lambang negara hasil buatan panitia ini, lambang garuda, diperkenalkan Soekarno kepada seluruh masyarakat Indonesia pada 15 Februari 1950.
Tak terkecuali juga dengan Mohammad Yamin yang merumuskan Pancasila sebelum Soekarno. Dalam buku “Jejak Freemason & Zionis di Indonesia”, Herry Nurdi bahkan mengendus kalau Mohammad Yamin adalah seorang Masonik karena dia anggota senior Jong Sumatrenan Bond atau Ikatan Pemuda Sumatera, organisasi yang didirikan di kawasan Weltervreden yang sekarang bernama Gambir.
Organisasi ini berdiri karena difasilitasi Perhimpunan Theosofi atau Theosofische Vereniging. Bukti bahwa organisasi ini terkait dengan Freemasonry dapat diendus dari monumen yang dibangun organisasi ini di lapangan Segitiga Michiels, persis di depan Oranje Hotel yang kini bernama Hotel Muara, pada 6 Juli 1919.
Monumen yang rampung pada 1920 itu berbentuk obelisk dengan paramida pada puncaknya, serta bola dunia bertengger di atas puncak itu. Obelisk, piramida, dan bola dunia adalah simbol-simbol agung Freemasonry. Herry Nurdi menulis, dari organisasi inilah Mohammad Yamin kemudian terjun ke percaturan politik Tanah Air, dan menjadi salah satu dari tiga tokoh yang membuat lambang negara Indonesia, burung garuda.

Dengan segenap fakta-fakta ini, sudah seharusnya umat muslim berfikir untuk kembali ke ajaran agamanya, yakni Islam. Sejarah Pancasila yang dipopulerkan bangsa ini melalui Pendidikan Pancasila hanyalah jalan memuluskan kebathilan.
Banyak fakta lain yang sebenarnya masih banyak terkubur tentang kaitan Pancasila, Pendidikan Pancasila dan Freemason. Sudah selayaknya Umat Muslim waspada dan berfikir ulang mencari persamaan antara Pancasila dengan Islam, karena dengan berbagati data yang ada, Pancasila lebih dekat dengan Freemason dan berbagai ajaran agama bathil lainnya. Inilah ideology yang kita bangga-banggakan itu. Allahua'lam
 
 

No comments:

Post a Comment